Kisah tentang cinta luar biasa, cinta para sahabat kepada RasulNya.
Pada hari tersebut, turun sebuah ayat,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuredhai Islam menjadi
agama bagimu ”.
Para sahabat bergembira dan bersorak, “Agama kita telah
sempurna, agama kita telah sempurna”.
Kegembiraan yang memuncak setelah 23 tahun perjuangan suka
dan duka bersama Rasul pilihan Allah. Di tengah kegembiraan para
sahabat, ada seorang sahabat mulia yang bersedih atas firman
tersebut. Abu Bakar As-Siddiq dengan perasaannya yang halus,
mula menangis sendirian. Ia memahami bahawa di sebalik
kesempurnaan pasti ada kesudahannya. Dia menyedari Rasulullah
yang dicintai akan meninggalkan dunia ini kembali menghadap
kekasihnya yang Agung, Allah SWT.
Tangisan Abu Bakar didengari para sahabat yang lain. Setelah Abu
Bakar menjelaskan mengapa dia menangis, para sahabat lain pun
mula menangis. Kesedihan yang melanda dek kerana kecintaan yang
mendalam terhadap insan mulia yang bertahun-tahun hidup dan
berjuang bersama-sama mereka melalui ukhuwah yang tiada
tandingnya, bakal meninggalkan mereka.
Mengetahui para sahabat menangis, Rasulullah bergegas mendatangi
mereka. Di depan mereka Rasulullah SAW bersabda:
“ Semua yang dikatakan Abu Bakar r.a adalah benar dan
sesungguhnya masa untuk aku meninggalkan kamu semua adalah
dekat ”
Mendengar perkataan Rasulullah SAW, Abu Bakar kembali menangis
sekuat tenaganya sehingga jatuh pengsan, tubuh Ali ibn Abi Thalib
bergetar, dan sahabat lainnya menangis dengan sepenuh hati
mereka.
Beberapa masa kemudian Rasullullah SAW sakit. Kota Madinah
berada dalam suasana kesedihan. Di suatu subuh, setelah azan, Bilal
ibn Rabah bergegas menuju ke kamar Rasullullah.
Di sana Fatimah menyambut Bilal dan berkata, “Jangan kau ganggu
Rasullullah, baginda sedang sakit”.
Bilal kembali ke masjid, di sana masih tak ada yang sanggup
menggantikan Rasulullah menjadi imam shalat subuh. Semua yang
hadir di masjid diselimuti kesedihan. Kali kedua, Bilal kembali
mendatangi kamar Nabi, dan Fatimah kembali mencegah Bilal kerana
keadaan Nabi yang sedang tenat.
Bilal menjawab, “Subuh hampir tiada, tak ada yang dapat
memimpin shalat”
Dari dalam kamar Rasulullah mendengar percakapan tersebut dan
mememerintahkan agar Abu Bakar menjadi imam shalat Subuh.
“Abu Bakar tidak berhenti menangis” seru Bilal.
Rasululah pun bergegas ke masjid dipapah oleh para sahabat.
Masjid penuh sesak dengan kaum Muhajirin beserta Anshar.
Perasaan cinta menyelubungi suasana, kekasih yang baru saja
terbangun dari sakitnya membuat semua sahabat tidak mahu
melepaskan kesempatan ini. Setelah mengimami shalat, nabi berdiri
di atas mimbar. Suaranya basah, menyenandungkan puji dan
kesyukuran kepada Allah yang Maha Pengasih. Senyap segera saja
datang, mulut para sahabat tertutup rapat, semua menajamkan
pendengaran menuntaskan kerinduan pada suara Rasulullah yang
dicintai. Semua menyiapkan hati, untuk disentuh serangkai hikmah.
Selanjutnya Nabi bertanya,
“Wahai sahabat, kalian tahu umurku tidak lagi panjang. Siapakah
diantara kalian yang pernah merasa teraniaya oleh si lemah ini,
bangkitlah sekarang untuk mengambil kisas, jangan kau tunggu
hingga kiamat menjelang, karena sekarang itu lebih baik ”.
Semua yang hadir terdiam, semua mata tertumpu kepada Nabi
yang kelihatan lemah. Tak pernah ada dalam benak mereka perilaku
Nabi yang terlihat janggal. Apapun yang dilakukan Nabi, selalu saja
indah. Segala hal yang diperintahkannya, selalu membuihkan bening
sari pati cinta. Tak akan rela sampai bila pun, ada yang
menyentuhnya meskipun hanya secuit jari kaki. Apapun akan
digadaikan untuk membela Al-Musthafa.
Melihat semua yang terdiam, nabi mengulangi lagi ucapannya, kali
ini suaranya terdengar lebih keras. Para sahabat masih lagi duduk
tenang. Sehingga ucapan yang ketiga, seorang lelaki berdiri menuju
Nabi. Dialah `Ukasyah Ibnu Muhsin.
“Ya Rasul Allah, dulu aku pernah bersamamu di perang Badar.
Untaku dan untamu berdampingan, dan aku pun menghampirimu
agar dapat menciummu. Wahai kekasih Allah, saat itu engkau
memukul untamu agar dapat berjalan lebih cepat, namun
sesungguhnya engkau memukul badanku. Oleh itu aku hendak tahu
apakah engkau sengaja memukulku atau hendak memukul
untamu ?” ucap `Ukasyah.
Rasulullah SAW berkata, “Wahai Ukasyah, Rasulullah SAW sengaja
memukul kamu”.
Rasulullah kemudian berkata kepada Bilal r.a, “Wahai Bilal kamu pergi
ke rumah Fatimah dan ambilkan tongkatku kemari”
Bilal keluar dari masjid dan menuju ke rumah Fatimah sambil
meletakkan tangannya dia atas kepala dengan berkata, “Rasulullah
telah menyediakan dirinya untuk dibalas (dikisas)”.
Segera setelah sampai, tongkat diserahkannya kepada Rasul mulia.
Dengan cepat tongkat berpindah ke tangan `Ukasyah. Masjid seketika
mendengung seperti sarang lebah.
Dua tubuh badan keluar dari barisan yang paling hadapan. Yang
pertama berwajah sendu, janggutnya basah oleh air mata yang
menderas sejak dari tadi, dialah Abu Bakar. Dan yang kedua,
seorang pemberani, yang ditakuti para musuhnya di medan
pertempuran, Umar Ibn Khattab. Segera mereka berkata:
“ Hai `Ukasyah, pukulah kami berdua, sesuka hatimu. Pilihlah
bahagian manapun yang paling kau ingin, kisaslah kami, jangan
sekali-kali engkau pukul Rasul ”
“Duduklah kalian sahabatku, Allah telah mengetahui kedudukan
kalian”, Nabi memberi perintah secara tegas.
Kedua sahabat itu longlai, langkahnya surut menuju tempat semula.
Mereka memandang `Ukasyah dengan pandangan memohon.
`Ukasyah tidak berganjak.
Melihat Umar dan Abu Bakar duduk kembali, Ali bin Abi Thalib tidak
berdiam diri. Berdirilah dia di depan `Ukasyah dengan berani.
“Hai hamba Allah, inilah aku yang masih hidup siap menggantikan
kisas Rasul, inilah punggungku, ayunkan tanganmu sebanyak
apapun, deralah aku ”.
“Allah Swt sesungguhnya tahu kedudukan dan niatmu wahai Ali,
duduklah kembali” ucap Nabi.
“Hai `Ukasyah, engkau tahu, kami adalah cucu Rasulullah, kami
darah dagingnya, bukankah ketika engkau memukul kami, itu ertinya
mengkisas Rasul juga ”, kini yang tampil di depan `Ukasyah adalah
Hasan dan Husain.
Tetapi sama seperti sebelumnya Nabi menegur mereka. “Wahai
penyejuk mata, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah”.
Masjid kembali ditelan sunyi. Banyak jantung yang berdegup
kencang. Tidak terhitung yang menahan nafas. `Ukasyah tetap tegap
menghadap Nabi. Kini tak ada lagi yang berdiri ingin menghalangi
`Ukasyah mengambil kisas.
“Wahai `Ukasyah, jika kau tetap berhasrat mengambil kisas, inilah
jiwaku, Nabi selangkah maju mendekatinya”.
“Ya Rasul Allah, saat Engkau memukulku, tak ada sehelai kain pun
yang menghalang pukulan itu”, ucap `Ukasyah.
Tanpa berbicara, Nabi langsung melepaskan bajunya yang telah
luntur. Dan tersingkaplah tubuh suci Rasulullah. Seketika pekik takbir
menggema, semua yang hadir menangis pedih.
Melihat tegap badan manusia yang maksum itu, `Ukasyah langsung
meninggalkan tongkat dan bergegas ke tubuh Nabi. Sepenuh cinta
dipeluknya Nabi, mencium Nabi begitu mesra. Kerinduan yang
menggunung kepada baginda, diluahkan saat itu juga. `Ukasyah
menangis gembira, bertasbih memuji Allah, berteriak haru dan
gementar bibirnya berucap sendu.
“Tebusanmu, jiwaku ya Rasul Allah, siapakah yang sanggup
mengkisas manusia indah sepertimu. Aku hanya berharap tubuhku
melekat dengan tubuhmu hingga Allah dengan keistimewaan ini
menjagaku dari sentuhan api neraka ”.
Dengan tersenyum, Nabi berkata, “Ketahuilah wahai manusia,
sesiapa yang ingin melihat penghuni syurga, maka inilah orangnya”
`Ukasyah langsung tersungkur dan bersujud memuji Allah.
Sedangkan yang lain berebut mencium `Ukasyah dan saling
bersalaman. Pekikan takbir menggema kembali.
Para jemaah berkata “Wahai `Ukasyah, inilah keuntungan paling
besar bagimu. Engkau telah memperolehi darjat yang tinggi dan
bertemankan Rasulullah SAW di syuga ”
Berbahagialah seandainya menjadi Ukasyah yang diberi kesempatan
memeluk Rasulullah
Ya Rasulullah Aku Rindu padamu…